Bengkulu, 18 Oktober 2025 – Istilah “Dosen Killer” adalah jargon abadi di dunia perkuliahan, sosok pengajar yang dikenal kaku, pelit nilai, dan menciptakan suasana teror akademik. Meskipun sering dibela dengan dalih “mencetak mental baja” dan “menjaga mutu,” praktik intimidatif ini sesungguhnya adalah anomali etis yang bertentangan, bukan hanya dengan psikologi pendidikan modern, tetapi juga dengan akar ajaran Islam itu sendiri.
Bagi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dan seluruh institusi pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama, fenomena dosen killer kini harus dihentikan, bukan karena mahasiswa “manja,” melainkan karena adanya dua dasar hukum yang fundamental: Hadis Nabi SAW dan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC).
Menggugat Logika Killer dengan Sunah Kenabian
Di jantung etika pendidikan Islam, Nabi Muhammad SAW telah mendeklarasikan prinsip pengajaran yang agung:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِنَّ اللهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّتًا، وَلَا مُتَعَنِّتًا، وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا.” (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang kaku (memberatkan) dan tidak pula sebagai orang yang mencari kesalahan (kesukaran), akan tetapi mengutusku sebagai seorang pendidik (pengajar) yang mempermudah.” (Mu’alliman Muyassiran, HR. Muslim).
Narasi ini jelas menolak dua sikap yang melekat pada dosen killer:
- Sikap Mu’annit (Memberatkan): Kekakuan aturan, seperti tidak menoleransi keterlambatan sedetik pun atau sistem penilaian yang tidak realistis, adalah manifestasi dari sifat memberatkan. Ini bukan disiplin, melainkan tirani yang memadamkan semangat.
- Sikap Muta’annit (Mencari Kesulitan): Dosen killer seringkali fokus mencari celah dan kesalahan, alih-alih mengapresiasi usaha dan kemajuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip “Mudahkanlah dan janganlah mempersulit, berilah kabar gembira dan janganlah membuat orang lari” (Yassirū wa lā tu’assirū, wa bashshirū wa lā tunaffirū).
Tujuan seorang pendidik sejati adalah mempermudah jalan mahasiswa menuju ilmu. Kualitas harus dicapai melalui metodologi efektif dan motivasi, bukan melalui tekanan yang justru membuat mahasiswa membenci mata kuliah, bahkan lari dari disiplin ilmu tersebut (tanfīr).
Kurikulum Cinta: Mandat untuk Transformasi Dosen
Kini, kritik etis ini diperkuat oleh kebijakan formal melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 6077 Tahun 2025 tentang Panduan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC).
KBC adalah langkah strategis untuk merekonstruksi pendidikan Islam agar menghasilkan insan yang humanis dan berjiwa mulia. Salah satu tujuan KBC adalah menciptakan Kampus yang Ramah Anak/Mahasiswa, bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis.
Perilaku intimidatif yang ditimbulkan oleh dosen killer adalah bentuk nyata dari kekerasan psikologis di kelas. KBC secara tegas menuntut transformasi dosen dari:
Dari Figur Otoriter dan Kaku | Menjadi Fasilitator dan Penuh Cinta |
Instruktur Penjaga Gerbang Nilai | Pembimbing Jiwa dan Mitra Belajar |
Sumber Ketakutan dan Kecemasan | Sumber Motivasi dan Amanah (Rasa Aman) |
Fokus pada Kesalahan dan Kegagalan | Fokus pada Potensi dan Aktualisasi Diri |
Jika kebijakan nasional melalui KBC sudah memproklamasikan bahwa pendidikan harus dibangun atas dasar cinta dan empati, maka tidak ada lagi ruang bagi dosen untuk mempertahankan metode yang berlandaskan ketakutan.
Mutu Sejati Bukanlah Nilai Angka
Mitos bahwa dosen killer adalah penjaga mutu harus dirobohkan. Mutu sejati dalam pendidikan bukan diukur dari seberapa banyak mahasiswa yang mendapatkan nilai A, melainkan dari seberapa besar resiliensi, kreativitas, dan integritas yang terbangun dalam diri mahasiswa. Resiliensi dibangun melalui tantangan yang suportif, bukan trauma yang menekan.
Dosen harus mulai merefleksikan diri: “Apakah ketegasan saya saat ini adalah cerminan dari otoritas berbasis kompetensi dan teladan, atau hanya pengekspresian kekuasaan dan ego yang kebetulan difasilitasi oleh hierarki kampus?”.
Waktunya bagi para pendidik, terutama di kampus-kampus Islam, untuk sungguh-sungguh menghayati peran sebagai “Pendidik yang Mempermudah”. Mari kita pastikan bahwa setiap kelas adalah ruang perjumpaan yang penuh makna, tempat ilmu mengalir dengan rahmah—tempat yang didominasi oleh cinta, bukan oleh rasa takut. KBC bukan sekadar romantisme, tetapi sebuah komitmen etik untuk kemanusiaan akademik.