Bingkai 2024; Menela’ah Perjalanan Politik Kaum Santri

Segala kejadian-kajadian yang terjadi di dunia ini -nyata maupun maya- adalah bukti nyata dari nilai-nilai yang telah diterangkan dalam Al Qur’an, hikmah-hikmah yang terjadi secara kauniyah terus membawa penguatan bagi umat Islam, tidak berkurang, justru semakin banyak jumlahnya. Sampai saat ini Islam sudah berkembang pesat hingga sampai ke penjuru dunia.

Islam mula-mula dikenalkan di kota Makkah, kota besar padang pasir yang tandus, gersang, kehidupan yang keras, dan jauh dari nilai kemanusiaan, dakwa Islam mengalami kendala yang besar serta tantangan yang luar biasa beratnya, hingga Nabi saw memutuskan untuk hijrah ke Madinah, yang kemudian di Madinah Islam berkembang pesat.

Islam yang berkembang di Madinah tidaklah sefanatik yang di bayangkan banyak orang, manusia di Madinah tidak memihak kepada golongan tertentu, tetapi memihak pada kebenaran, dari siapapun itu. Terlihat jelas dari beberapa literatur hadis Nabi saw yang melarang melakukan persekusi kepada kaum Dzimmi, dan mensetarakan hak-hak mereka dengan yang lain, begitu juga dengan Piagam Madinah yang akhir-akhir ini lebih kerap dikutip oleh beberapa kalangan remaja Islam untuk menjadi penguatan pendapat mereka terhadap keputusan kata Kafir oleh MAU (Majlis Alim Ulama) beberapa bulan lalu, pasalnya bahwa di piagam tersebut istilah kafir masih disebut oleh Nabi saw, meskipun sebetulnya istilah sebagai pembeda identitas keagamaan, bukan identitas sebagai warga negara. Sebagai warga negara Nabi saw jelas menyebutnya sebagai Ro’iyah atau rakyat (HR. Bukhari dan Muslim). Esensi piagam Madina sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang adil dan beradab. (Baca; Istilah Kafir dan Non Muslim)

Dengan perkembangan Islam yang besar hingga sudah bulat seperti bumi itu, menjadi tantangan bagi kaum Muslim untuk memberikan gagasan-gagasan nilai kebangsaan, dalam artian bahwa Islam tersebar dan masuk ke dalam Cover Society (lingkaran masyarakat; nagarang, hehe), masyarakat punya budaya dan adat. Perkembangan ini harus ditangkap dan harus dipahami, bahwa tersebarnya tidaklah dengan cara satu, melainkan berubah-berubah menurut zamannya. Syekh Fakhruddin Ar Rozy berkata:

ينبغي للعاقل أن يكون حافظا للسانه عارفا بزمانه مقبلا على شأنه

“Hendaknya orang yang berakal menjadi pribadi yang menjaga lisannya, mengetahui perkembangan zamannya, dan menunaikan tugas-tugasnya”. (Kitab Mafatih al Ghaib, Darul Kutub).

Maka, santri tidak sekiranya hanya tau tentang “utawi iki iku” tanpa diimbangi diimbangi dengan pengetahuan kebangsaan yang memadai, dengan jargonnya “hubbul wathan minal iman” menandakan bahwa perjuangan membela tanah air juga bagian dari perjuangan membela syari’at, jika tanah airnya kacau balau, maka sudah barang tentu penerapan syari’at Islam tidak akan berjalan dengan sempurna.

Dan juga termasuk harus sadar bahwa manusia sekarang tidak lagi hidup di zaman khilafah, bukan juga negara Islam (atau negara yang didirikan atas dasar agama tertentu). Semuanya negara Nasional. Oleh karenanya, jika suatu bangsa yang tidak dijunjung maka akan runtuh. Meskipun begitu, menjunjung kebesaran Indonesia haruslah diiringi dengan dan diwarnai dengan ruh-ruh keislaman.

Kita harus mennjunjung tinggi bangsa Indonesia, Nabi saw menjunjung tinggi bangsa Arab, karena beliau berbangsa Arab sehingga menjadi panutan bagi bangsa-bangsa lainnya.

Peran Kaum Sarungan

Semangat nasionalisme para pendahulu santri tidak lah perlu diragukan lagi, Ulama’ dan Masyayikh santri (NU khususnya) sudah kerap menegaskan bahwa santri harus memiliki semangat nasionalisme, semangat membela tanah air.

Santri juga tidak lagi hanya memahami dan menilai persoalan dari sisi “halal dan haramnya” saja yang cenderung jumud dan kolot, tapi juga harus mempertimbangkan sisi mashlahat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi pada zaman yang cenderung terjadi konflik saat ini, sensitifitas agama sering menjadi pemicu utama, masalah kesadaran mencintai tanah air menjadi sangat krusial, santri harus menanggapi ini demi kemashlahatan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan negara.

Penggerak Kaum Sarungan

Dunia mempunyai ciri khas tersendiri, dimana kita membicarakan santri maka di sana pasti ada Kiai. Santri tanpa Kiai? Bukan santri. Santri yang hebat pasti ada Kiai yang sholih di belakangnya. Apalagi jika pembahasannya adalah pesantren, maka tidak akan terlepas dari tiga pilar, yaitu Kiai, Santri dan Pondok.

Budaya santri yang khas dan menyengat adalah patron klien, ini juga secara tidak langsung justru mempengaruhi pola pikir santri dalam membuat, mempertimbangkan dan memutuskan suatu keputusan. Tradisi sami’na wa atho’na (kami mendengar dan kami ta’at) kepada Kiai ini sangat mengakar, dan ini sangat diperhatikan oleh para santri dalam menuntut ilmu agar mendapatkan barokah dan ilmu yang bermanfaat, atau dengan kata lain bisa juga disebut dengan ta’zhim. Kepercayaan jika tidak ta’at maka akan kuwalat.

Ini justru, menjadi langkah kesuccesan bagi Kiai dalam mendoktrin nilai kebangsaan dan pranata dalam menjaga serta melestarikan nilai-nilai sosial kemasyarakatan kepada para santrinya. Kiai yang digambarkan oleh Gus Dur mempunyai kedudukan absolut dan diakui di tataran pesantren.

Kesimpulan

Namun, kita perlu cermat dalam mengamati (jika) aktor politik adalah Kiai atau tokoh yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan masyarakat muslim, dengan penuh keluwesan. Karena pengambilan politik Kiai tidak terbatas pada black and white, melainkan ada keterlibatan pertimbangan rasional yang muncul, dan juga tidak terlepas dari nilai-nilai agama.

Fiqih Kebangsaan
Lingkaran Politik Pesantren

Ekonomi Syariah: Alternatif atau Masa Depan Ekonomi Indonesia?

Ekonomi Syariah: Alternatif atau Masa Depan Ekonomi Indonesia?

Di tengah tantangan global dan domestik yang kian kompleks—mulai dari krisis ekonomi, kesenjangan sosial, hingga ketidakstabilan sistem keuangan konvensional—Indonesia membutuhkan solusi ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah sering kali muncul sebagai alternatif. Namun, pertanyaannya: apakah ekonomi syariah hanya sekadar alternatif, atau justru merupakan masa depan ekonomi Indonesia?

Bukan Hanya Agama, Tapi Sistem yang Inklusif

Masih banyak yang menganggap ekonomi syariah hanya relevan bagi umat Islam. Padahal, sistem ini menawarkan nilai-nilai universal seperti keadilan, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Prinsip-prinsip seperti larangan riba, mendorong transaksi yang produktif dan nyata, serta adanya instrumen sosial seperti zakat dan wakaf, menjadikan ekonomi syariah lebih dari sekadar sistem keuangan—ia adalah paradigma ekonomi yang humanis dan beretika.

Pertumbuhan yang Menjanjikan

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi syariah. Menurut data dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), sektor ekonomi syariah Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan yang positif—mulai dari perbankan, keuangan mikro, halal lifestyle, hingga pariwisata syariah. Bahkan, Indonesia bercita-cita menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Ini menunjukkan bahwa ekonomi syariah bukan lagi pemain pinggiran, tetapi pilar yang mulai mendapat tempat strategis.

Solusi atas Ketimpangan Sosial

Salah satu keunggulan ekonomi syariah adalah mekanisme redistribusi kekayaan melalui zakat, infaq, dan wakaf. Instrumen ini tidak hanya meringankan beban masyarakat miskin, tetapi juga mendorong pemerataan ekonomi secara sistemik. Di tengah tingginya angka ketimpangan sosial di Indonesia, sistem ini bisa menjadi alat konkret untuk membangun ekonomi yang berkeadilan.

Tantangan yang Harus Dihadapi

Meski menjanjikan, ekonomi syariah masih menghadapi berbagai tantangan. Tingkat literasi masyarakat tentang sistem ini masih rendah. Banyak pelaku ekonomi belum memahami perbedaan fundamental antara sistem syariah dan konvensional. Belum lagi tantangan regulasi, infrastruktur teknologi, dan keterbatasan SDM yang paham prinsip-prinsip syariah secara mendalam.

Masa Depan Dimulai dari Sekarang

Ekonomi syariah memiliki potensi untuk menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Namun, untuk mewujudkannya, dibutuhkan komitmen kuat dari berbagai pihak—pemerintah, akademisi, pelaku usaha, hingga mahasiswa sebagai agen perubahan. Perlu ada sinergi dalam membangun ekosistem ekonomi syariah yang inklusif, adaptif, dan inovatif.

Penutup

Ekonomi syariah bukan hanya alternatif sementara di tengah kegagalan sistem konvensional. Ia menawarkan fondasi baru untuk membangun ekonomi nasional yang lebih adil dan berkelanjutan. Maka, jawaban atas pertanyaan “alternatif atau masa depan?” tampaknya makin jelas. Ekonomi syariah bukan hanya pilihan, melainkan peluang besar yang tak boleh diabaikan.

Oleh: Intan Purnama Sari
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah STIESNU Bengkulu

Ekonomi Syariah: Solusi Etis di Tengah Krisis Wabah Covid-19

Ekonomi Syariah: Solusi Etis di Tengah Krisis Wabah Covid-19

Pandemi Covid-19 tidak hanya menyerang sektor kesehatan, tetapi juga mengguncang perekonomian global secara masif. PHK massal, menurunnya daya beli masyarakat, serta meningkatnya angka kemiskinan menjadi realitas pahit yang harus dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia. Di tengah krisis yang menggerus stabilitas dan keadilan ekonomi ini, muncul pertanyaan: apakah sistem ekonomi yang kita anut selama ini sudah benar-benar berpihak pada rakyat? Salah satu jawaban yang patut dipertimbangkan adalah ekonomi syariah. Bukan hanya karena sistem ini berasal dari ajaran agama, tetapi karena ia menawarkan solusi etis dan berkeadilan yang sangat relevan di tengah situasi darurat seperti pandemi.

  1. Sistem yang Berbasis Nilai Kemanusiaan

Ekonomi syariah dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan keseimbangan. Salah satu pilar utamanya adalah larangan riba, yang mencegah praktik pengambilan keuntungan berlebih dari utang. Dalam konteks pandemi, di mana banyak masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, sistem tanpa riba ini dapat mengurangi beban finansial mereka. Selain itu, prinsip bagi hasil dalam ekonomi syariah mendorong kerja sama yang adil antara pemilik modal dan pelaku usaha, bukan sekadar hubungan pemberi-peminjam.

  1. Zakat, Infaq, dan Wakaf: Instrumen Sosial yang Kuat

Salah satu kekuatan ekonomi syariah adalah keberadaan instrumen redistribusi kekayaan seperti zakat, infaq, dan wakaf. Di tengah krisis, instrumen-instrumen ini berperan sebagai ‘safety net’ yang sangat dibutuhkan. Dana zakat dan infaq dapat disalurkan untuk membantu masyarakat miskin, menyokong UMKM, hingga menyediakan layanan kesehatan gratis. Wakaf produktif bahkan bisa menjadi sumber pembiayaan jangka panjang untuk fasilitas publik seperti rumah sakit dan sekolah.

  1. Peran Lembaga Keuangan Syariah

Selama pandemi, banyak lembaga keuangan syariah mengambil langkah yang lebih manusiawi, seperti memberikan relaksasi pembiayaan kepada nasabah terdampak. Tidak sedikit pula yang terlibat dalam gerakan sosial berbasis syariah untuk membantu masyarakat kecil bertahan. Ini membuktikan bahwa ekonomi syariah tidak hanya teori, tapi juga dapat diimplementasikan dalam kebijakan nyata.

  1. Tantangan dan Harapan

Meski memiliki potensi besar, ekonomi syariah masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal literasi masyarakat dan dukungan kebijakan dari pemerintah. Banyak orang masih menganggap ekonomi syariah hanya relevan bagi umat Islam, padahal nilai-nilainya bersifat universal. Oleh karena itu, edukasi publik dan kolaborasi antar lembaga sangat diperlukan agar sistem ini bisa berkembang lebih luas.

Penutup

Krisis Covid-19 menjadi cermin bahwa sistem ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa memperhatikan keadilan akan mudah rapuh saat diterpa guncangan. Ekonomi syariah hadir sebagai alternatif yang tidak hanya stabil secara ekonomi, tetapi juga bermoral dan berpihak pada kemanusiaan. Di saat dunia mencari jalan keluar dari krisis, mungkin sudah saatnya kita melirik kembali sistem yang bukan hanya masuk akal, tetapi juga berkeadilan.

Oleh: Intan Purnama Sari
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah TIESNU Bengkulu